Connect with us

SukaSinema

‘If Beale Street Could Talk’: Menangkap Kehangatan Kasih Sayang Melalui Tangan Sang Penata Artistik

Film

‘If Beale Street Could Talk’: Menangkap Kehangatan Kasih Sayang Melalui Tangan Sang Penata Artistik

‘If Beale Street Could Talk’: Menangkap Kehangatan Kasih Sayang Melalui Tangan Sang Penata Artistik

Penata artistik Mark Friedberg telah bekerja dalam berbagai macam film dengan latar New York City. Ia juga telah bekerja dengan berbagai macam sutradara terkenal. Mulai dari Jim Jarmusch dengan film indie yang beranggaran kecil, hingga Todd Phillips dengan film besarnya nanti, Joker. Sebagai salah seorang yang menyukai Moonlight dan penulisnya James Baldwin, ia tanpa ragu langsung setuju untuk mengerjakan proyek If Beale Street Could Talk adaptasi Barry Jenkins.

Latar belakang film ini, Harlem pada tahun 1972, adalah suasana yang dikenal oleh Friedberg. Ia tumbuh besar di sebelah selatan daerah tinggal sang penulis James Baldwin dan telah menyaksikannya berubah dari tahun ke tahun. Ia pun langsung menyadari bahwa pendekatan seperti dokumenter tidak akan menjadi gaya utama film ini.

“Kami memiliki banyak adegan di ruang tunggu penjara,” ujar Friedberg yang dilansir dari IndieWire. “Interpretasi saya untuk kisah ini, sebagai seorang Yahudi dari Upper West Side, ada sisi sendiri. Kemudian saya membawa Barry ke penjara sungguhan sebagai lokasi syuting yang memungkinkan. Ia langsung, ‘Kita tidak akan syuting di sini.’ Barry langsung ingin pergi dan berada di sana membuatnya kesal. Ia berkata, ‘Kisah ini bukan tentang itu. Ini bukan kisah tentang bagaimana rasanya seorang pria kulit hitam berada dalam penjara. Kita telah mengisahkan itu. Ini kisah yang berbeda.’”

Pendekatan Warna Dan Visual

Kecuali beberapa adegan percintaan di masa lalu, adegan di ruang tunggu penjara antara Fonny dan Tish terasa sangat intim. Meskipun terpisah oleh sebuah kaca, Jenkins memerlukan Friedberg untuk menangkap keintiman tersebut.

“Pada akhirnya, jika Anda kembali melihat film tersebut, Anda akan menyadari itu tempat paling berwarna,” ujar Friedberg. “Tempat itu memiliki lima warna kuning yang berbeda. Ubinnya dicampur semua. Itu hampir berlebihan.”

Barry Jenkins juga sempat membicarakannya ketika hadir dalam podcast IndieWire Filmmaker Toolkit. Ia menjelaskan pendekatannya kepada warna dan secara visual menangkap kasih sayang pasangan muda tersebut.

“Rasanya akan palsu jika berusaha untuk menggambarkan semuanya dalam energi Fonny di balik kaca,” ujar Jenkins. “Bagi saya, ada ide dalam penulisannya mengenai kegembiraan antara orang-orang kulit hitam ketika mereka berkumpul bersama keluarga, komunitas. Atau mereka membiarkan dirinya hanyut dalam cinta. Jadi saya pikir sebagian film ini ingin merefleksikan rasa gembira tersebut. Saya menyebutnya ‘estetika kegembiraan.’ Dan itu yang beberapa warna dan saturasi gambarkan mengenai cinta Tish dan Fonny.”

Berkarya Menggunakan Perasaan

Friedberg mengatakan bahwa Barry Jenkins memiliki pendekatan yang berbeda sebagai seorang sutradara. Dibandingkan dengan sutradara lain yang pernah bekerja sama dengannya, Jenkins lebih mengikuti perasaannya.

“Saya telah bekerja dengan berbagai macam pembuat film. Orang seperti Wes Anderson lebih seperti peneliti, dan semuanya sudah diketahui dan direncanakan,” ujar Friedberg. “Todd Haynes ada di antaranya. Namun Barry mengikuti perasaannya, setidaknya dalam pekerjaan ini. Banyak keputusan kami dibuat secara puitis bukan saintifik, percobaan dan kegagalan.”

Dalam mengadaptasi Baldwin, Jenkins memindahkan keluarga Rivers dari perumahan umum ke rumah batu bata. Namun ia masih membutuhkan “Beale Street”-nya seperti gambaran lingkungan Harlem dari sang penulis. Meski Jenkins lebih memilih membangun sebuah set daripada syuting di Brooklyn, Friedberg berusaha untuk mencari cara lain. Ia berhasil menemukan sebuah rumah keluarga Harlem jaman dulu yang akan direnovasi.

“Rumah mereka ingin memperlihatkan keterbatasan ekonominya, namun menurut saya juga sumber dari perasaan mereka,” ujar Friedberg. “Jadi rumahnya juga ingin terasa hangat dan mengundang. Rumahnya tidak terbuat dari hal-hal yang mewah namun dibuat dari hal-hal yang penuh kasih sayang. Rumahnya dijaga dan ini tempat yang tidak bisa membuat Anda merasa tidak bahagia di dalamnya, terutama karena sebagian besar filmnya berada di dalam sana. Rumah jaman dulu ini memiliki banyak sejarah yang bisa digali oleh penata artistik.”

Hal-Hal Kecil Yang Berarti

Barry Jenkins mengapresiasi bagaimana rancangan Mark Friedberg begitu detil. Ia berhasil menangkap hal-hal kecil yang menceritakan kisah keluarga ini.

“Yang saya suka dari Mark adalah ada begitu banyak detil kecil di naskah,” ujar Jenkins. “Tish bangun, naik ke tangga kecil dan membuka lemari kabinet bagian atas. Karena jika Anda miskin, atau dalam keluarga menengah ke bawah, Anda akan memiliki satu botol alkohol bagus dan itu akan ditempatkan di bagian yang perlu perjuangan untuk mengambilnya. Hanya hal-hal kecil seperti itu, karena bagian itu sepenuhnya kosong. Ia membangun ulang itu.”

Friedberg juga mengetahui bahwa sang sinematografer, James Laxton, lebih ingin rumah keluarga Rivers ada di tempat syuting buatan. Dengan begitu sang sinematografer dalam menangkar cahaya lebih baik dan menangkap kehangatan kasih sayang mereka. Sang penata artistik pun bekerja sama dengan sang sinematografer untuk membangun pencahayaan di dalam lokasinya.

“Kami mencoba dalam segala cara untuk membuatnya menjadi ruang yang berfungsi,” jelas Friedberg. “Lalu pada akhirnya, menurut saya itu sungguh menyatukan James, Barry, dan saya. Kami memulai dengan tiga ide berbeda mengenai bagaimana kisah ini akan dibuat, dan berakhir dengan hasil yang menyatu.”

Continue Reading

More in Film

To Top