Connect with us

SukaSinema

Ari Aster Mengungkapkan Film-Film Yang Menginspirasi ‘Midsommar’

Film

Ari Aster Mengungkapkan Film-Film Yang Menginspirasi ‘Midsommar’

Ari Aster Mengungkapkan Film-Film Yang Menginspirasi ‘Midsommar’

Ari Aster ingin memastikan satu hal: Midsommar adalah film horror. Ia sebelumnya sempat berada dalam perdebatan apakah film pertamanya, Hereditary, yang berkecimpun tentang trauma adalah film horror atau bukan. Sang sutradara sekaligus penulis naskah ini sekarang ingin memastikan hal tersebut sejak awal untuk film keduanya.

Ari Aster sudah tahu jelas bahwa film terbarunya akan mengangkat bahan pembicaraan yang serupa juga. Premis Midsommar terdengar lebih sederhana dibandingkan kegilaan dalam Hereditary. Sebuah mimpi buruk yang mengaburkan garis antara tradisi dan kegilaan di dalam diri tiap orang. Seorang gadis Amerika yang sedang berkabung ikut bepergian dengan pacarnya dan kawan-kawan kuliahnya. Mereka pergi ke sebuah desa Swedia yang terpencil yang sedang merayakan festival pagan misterius dan hanya terjadi 90 tahun sekali. Tak lama setelah mereka tiba, orang-orang mulai jatuh meninggal.

Rasanya hampir seperti plot film Hostel, yang awalnya memang film tersebut dirasa mirip dengan ide ini saat baru dikembangkan. Trailer yang telah keluarpun terasa seperti The Wicker Man versi milenial. Hal tersebut ternyata bukanlah tidak disengaja.

“Ini adalah kontribusi untuk genre folk horor,” jelas Ari Aster dalam sebuah wawancara bersama IndieWire. “Saya tahu trayeknya, saya tahu bagaimana cara kerjanya. Saya sangat bersemangat menaruh film ini di dalam genre tersebut dan tidak berkecimpung dalam hal lainnya.”

Meski begitu, ada suatu hal mengenai Midsommar yang membuat penonton bertanya-tanya apa yang mereka tonton dan berdenyit ke arah layar. Film ini adalah film horor dengan warna paling cerah yang pernah dibuat. Banyak film horor lain yang melihat tubuh manusia sebagai subjek kesengsaraan. Akan tetapi, Ari Aster menganggapnya sebagai sebuah kendaraan. Baginya, kengeriannya hanya menjadi tujuan untuk mengakhirinya. Seperti dalam film Hereditary sebelumnya, Midsommar tidak tertarik dengan bagaimana karakternya meninggal. Namun film ini lebih tertarik pada bagaimana mereka hidup dengan kesengsaraannya.

“Kebahagiaannya bukan dalam membalikkan ekspektasi,” jelas sang sutradara. “Namun dalam memberikan ekspektasi yang tidak dapat dihindari dan juga mengejutkan secara emosional. Kesenangan dalam genre folk horor adalah penonton tahu ke mana arah kisahnya, dan saya tidak ingin melawannya.”

Untuk seseorang yang terlihat sangat bertalenta, Ari Aster ternyata tidak tertarik untuk membuat ulang genrenya. “Saya seorang sinefil. Saya suka film,” ujarnya. “Bagi saya, hal paling menyenangkan dalam menjadi seorang pembuat film adalah berdialog dengan film dan pembuat film yang saya suka. Menggunakan bahasa umum dalam sinema untuk mengerjakan film saya sendiri dan membuat sesuatu yang personal.”

Terinspirasi Dari Film-Film Tentang Putus Hubungan

Midsommar mungkin adalah film folk horor yang serupa dengan film klasik seperti The Wicker Man dan The Blood on Satan’s Claw. Akan tetapi, bukan itu film-film yang Ari Aster jadikan pegangan dalam membuat kontribusinya ke genre yang sama. Ia justru kembali ke film-film yang sangat berdampak baginya. Tidak peduli jenis film seperti apa, juga tidak peduli apakah film-filmnya tidak berhubungan dengan satu sama lain.

“Film putus hubungan adalah referensi saya paling besar,” ujar Ari Aster. “Saya sangat ingin membuat modelnya berdasarkan film komedi romantis remaja. Saya sangat menyukai Clueless. Clueless tidak termasuk sebagai referensi untuk Midsommar, namun film itu sangat luar biasa. Namun untuk saya, film tentang akhir hubungan yang saya pikirkan pertama kali adalah film Modern Roman karya Albert Brooks. Karena itu film favorit saya mengenai putus hubungan.”

Selain adanya kisah mengenai akhir dari sebuah hubungan, Midsommar juga memiliki tema keagamaan atau kepercayaan di dalamnya. Berbicara tentang film dan pembuat film yang menginspirasi tema tersebut dan berlatar di Swedia, Ingmar Bergman rasanya sudah jelas menjadi jawabannya.

“[Ingmar] Bergman adalah salah satu pahlawan saya. Saya mencintainya. Saya sangat mencintai karyanya dan selalu memikirkannya hanya karena saya sangat mencintainya,” jelasnya. “Film favorit saya sepanjang masa mungkin adalah Fanny dan Alexander. Namun sejujurnya, saya lebih memikirkan Bergman ketika membuat Hereditary dibanding ketika saya sedang membuat Midsommar.”

“Namun jelas Scenes from a Marriage ada dalam pikiran saya. Maksudnya bukan berarti saya selalu memikirkannya. Namun itu film akhir dari sebuah hubungan yang terbaik, tidak bisa melebihinya. Film itu mungkin memiliki naskah paling baik yang pernah saya temui dalam sebuah film juga. Monolognya adalah hal paling brutal di dunia ini.”

Midsommar memiliki momen-momen yang membangun akhir yang membersihkan jiwa sejak awalnya. Namun hanya terdapat beberapa film yang pernah memiliki arah jalan yang sama dan bagus seperti Dogville karya Lars von Trier. Film tersebut dibintangi oleh Nicole Kidman yang berperan sebagai seorang perempuan yang sedang bersembunyi dari kelompok gangster mengerikan. Ia kabur ke sebuah kota kecil di Rocky Mountains di mana ia sedikit demi sedikit didehumanisasi oleh penduduk setempat.

“Rasanya palsu jika saya mengatakan bahwa Dogville adalah film yang sering saya pikirkan ketika sedang membuat Midsommar,” ujar Ari Aster. “Namun pasti itu pengaruh yang tidak saya sadari. Karena apa yang telah film ini lakukan dengan katarsis adalah apa yang ingin saya lakukan dengan katarsis di film ini. Saya ingin membuatnya menjadi sebuah kebahagiaan. Saya ingin akhirnnya menjadi menyenangkan dan semacam memuaskan para penonton. Lalu kemudian di saat bersamaan saya ingin ini menjadi sesuatu yang rumit hingga harus ditandingi.”

Continue Reading

More in Film

To Top